"Sendirian? Putri sama Nur kemana?" lelaki itu duduk disampingku. Tangannya tepat menyentuh kulitku.
Darah ku berdesir.
"Lagi kekantin bentar." Aku
tak berani melihat wajahnya. Wajah yang sangat ku hapal rautnya dengan senyum
yang selalu menjadi pasokan energi ku setiap hari.
"Kenapa sih suka duduk dibawah
pohon beringin. Kan banyak setan."
"Banyak setan? Bodoh." Kali
ini aku beranikan diri untuk melihat kearahnya. Wajah kebingungan yang sering
dipasang nya adalah kesukaan ku. Alis mata yang sering kali dia naikkan sebelah
karena bingung atau sekedar pamer padaku adalah hal yang sangat aku sukai.
Walau tak mampu aku ungkapkan. "Aku duduk dibawah pohon beringin karena
ketenangan yang aku dapat. Pohon beringin adalah tempat kesukaanku. Aku bisa
melakukan apapun itu. Aku bisa menenangkan diri dari hiruk pikuk kota Bandung
ini. Aku bisa melepaskan rasa penatku. Bukan karena setan atau apapun jenis
makhluk ghoib yang kamu bayangkan." Aku memalingkan wajahku dari wajahnya,
kembali membaca buku yang dari tadi telah aku lakukan.
"Sok pintar. Lagi pula makhluk
ghoib itu memang ada. Dia berada disekitar kita." Ucap nya sambil
menerawang sekitar. Tangannya diluruskan kedepan seperti orang yang sedang
merasakan sesuatu. Bodoh pikirku, tapi aku menyukainya. Sangat menyukainya.
"Terserah." Aku tidak
memperdulikannya. Walaupun dalam hatiku aku sangat ingin memeluknya dan tertawa
bersamanya.
"Ayo." Dia memegang lengan
kananku. Darah ku berdesir, kaki ku seperti membeku, dan aku tidak dapat
bergerak. Aku melihat jelas telapak tangannya yang sedang menggenggam erat
lenganku.
"Mau kemana?"
"Ke kantin. Nyusul Putri sama Nur."
"Terus kalau udah ketemu?"
"Yaudah ketemu." Aku melihat
kearahnya. Memasang raut wajah aneh. "Kenapa ngeliat begitu?"
"Si dodol, ya capek lah. Dari sini
kekantin. Terus ketemu Putri sama Nur. Udah ketemu, kesini lagi kan?"
"Iya juga sih. yaudah deh ga
jadi." Dia melepaskan genggamannya dari lenganku. Aku tidak ingin itu
terjadi. Namun, aku tidak mungkin meminta hal itu padanya.
Keheninganpun tercipta. Tidak ada yang
membuka mulut. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Aku memperhatikannya dari
sudut mataku. Lelaki itu adalah dambaan ku. Senyumnya, cara dia melihatku, dan
caranya memperhatikanku. Itu sangat sempurna. Aku membolak-balikkan halaman buku.
Ini sangat aneh pikirku. Untuk membaca bukupun aku tidak bisa. Pandanganku
hanya tertuju pada lelaki disebelahku ini. Aku sangat ingin merebahkan kepalaku
diatas pundaknya, Tapi itu tak mungkin. Untuk memegang tangannya saja aku ragu.
Aku terlalu malu atau gengsi. Entahlah, beda tipis. Posisi duduk kami yang
hanya berjarak satu jengkal tangan ini semakin membuatku takut, Takut untuk
kehilangannya.
***
Hari ini aku tak ingin banyak bicara.
Aku hanya ingin diam. Entah apa yang aku pikirkan, tapi untuk hari ini aku tak
ingin ada satu orang pun yang mengganggu
ku. Termasuk lelaki itu, Jerry. Aku tak ingin menyimpan perasaan ini lagi, aku
ingin dia pergi dari hidupku, aku tak ingin mencintainya lagi.
Disebuah taman disekolah, tempat ku
selalu melepas penat, dibawah pohon beringin. Aku kembali beristirahat disana,
menyandarkan tubuhku yang telah sangat lelah menopang masalah yang tak bisa
kuhindarkan. Keluarga, sekolah, teman, ataupun cinta. Bagiku semuanya terasa sangat
pelik.
"Nia... Nia...." Seorang pria
berteriak kearahku. Melambai-lambaikan tangannya. Aku memfokuskan pandanganku,
mencari siapa sosok itu. Dan ternyata itu Jerry. Aku sangat ragu apakah aku
harus menjawab panggilannya atau aku harus berpura-pura tak mendengarnya. Dan
pada kenyataannya aku lebih memilih untuk mengacuhkannya. Aku memalingkan
wajahku dari sosok Jerry. Aku tidak ingin berbicara dengannya, aku tidak ingin
melihatnya.
Jerry berjalan kearahku. Nafasnya
sedikit tersengal. Dia membawa sebuah buku. Aku terpaksa melihatnya, Mencari-cari
apakah buku yang dibawanya itu. Dengan tatapan tak perduli aku bertanya
"Ngapain kesini?" ucapku sinis.
"Aku membawakan mu buku. Kamu
pasti suka. Buku Novel fantasi, kesukaan kamu kan?" rautnya wajahnya
sangat gembira seperti panglima yang membawakan hadiah istimewa untuk sang
putri raja.
"Ohh..."
"udah gitu aja? kamu ga mau
bukunya?" nada suaranya sangat sedih. Wajahnya memelas. Aku tak sanggup
melihatnya seperti ini. Tapi aku harus kuat.
"Aku ga mau. Kasi aja buat Melisa.
Dia pacar kamu kan." Aku berdiri dan kemudian meninggalkannya sendirian. Aku
tak mampu melihat kebelakang, ke arahnya. Yang aku ingat dia masih berdiri
disitu, ditempat yang sama sambil memperhatikanku.
Aku tak mampu menahan air mata yang
keluar dari pelupuk mataku. Aku tak mampu menahan rasa sakit ini. Aku menutup
wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku berjalan tergopoh sambil menghapus
kedua air mataku, aku tak ingin dilihat oleh siapapun. Aku tak ingin dilihat
oleh Jerry.
Aku terlalu lelah untuk jatuh cinta
sendirian. Aku tak mampu hidup dalam bayang-bayang kepedihan. Aku ingin dia
pergi. Aku ingin dia menghilang dari kehidupanku. Aku tidak butuh pria yang
hanya mengajakku terbang lalu menghempaskanku ke bumi sendirian. Aku tidak
butuh.
Masih berjalan dikoridor dengan hujan
diseluruh pelupuk mataku. Dengan isak tangis didalam kepedihan hatiku. Aku
masih tak percaya Jerry bersama wanita itu. Aku tak menyangka Jerry tak
mengejarku. Aku tak percaya rasa ini hanya aku yang merasakannya.
Aku ingin pergi kesuatu tempat dimana
tidak ada seorangpun yang bisa menggangguku. Aku ingin meluapkan kesedihanku
yang sudah mendarah daging dalam batinku. Aku ingin pulang, pikirku. Aku
berjalan menyusuri koridor sekolah berharap tidak akan ada yang melihatku. Tapi itu sungguh harapan kosong, tentu
saja orang-orang akan melihat. Aku segera menuju kelas dengan isak tangis yang
mengiringi langkahku. Aku melihat beberapa tatapan aneh menusuk kemataku. Aku
mendengar bisikan mereka yang sedang mencari tahu apa yang terjadi.
Aku segera menuju kelas, mengambil tas
juga buku-buku bacaanku, lalu pulang. Namun, hal itu tak semudah yang aku
pikirkan. Sahabat ku Putri dan Nur menghalangiku. Dan menghujamiku dengan
ribuan pertanyaan dibenak mereka.
"Nia kamu kenapa?" Ucap Putri
sambil menatapku.
"Siapa lagi? Jangan bilang itu
Jerry." Nur memegang tanganku. Tapi aku hanya diam, menutup rapat-rapat
mulutku. Aku tahu mereka sangat ingin jika aku menjawab pertanyaan mereka. Tapi
aku hanya berlalu meninggalkan kelas dan menuju rumah.
***
Dirumah aku sudah tak mampu untuk
membungkus teriakkan kepedihan dalam hatiku. Aku meluapkan semuanya dengan
diriku sendiri. Hujan di pelupuk mataku yang tidak berhenti sejak tadi semakin
deras. Bunyi ponsel pun takku hiraukan sedikitpun. Aku sudah terlalu lelah
dengan cerita cintaku yang diakhiri dengan kepedihan.
Sudah menjelang pukul tujuh malam, tapi
aku masih mengurung diri didalam kamar. Tak ada sedikitpun rasa kantuk atau
lapar yang menyerang diriku. Mataku sangat sembab. Namun ada sesuatu yang
sangat mengganggu batinku, itu adalah suara ketukan pintu dari depan rumah.
Ketukan pintu itu diiringi dengan suara yang menyebutkan namaku. Semakin lama
semakin jelas bahwa suara itu adalah suara Jerry. Aku berjalan agak lambat
keluar kamar, menyusuri anak tangga satu per-satu, tak ada hal buruk yang
kubayangkan.
"Mau apa?" ucap ku agak keras kepadanya.
"Mau minta maaf. Soal tadi siang.
Aku tahu kamu marah." dia memberikan setangkai Nur mawar yang telah
dipegangnya sejak tadi padaku.
"Gak perlu. Maafnya kamu gak akan
bisa buat aku baik-baik aja." Jerry terdiam. Menundukkan kepalanya. Mataku
tidak mampu membendung air mata yang
baru saja usai ini. "Seharusnya kamu lebih tahu orang yang benar-benar
cinta sama kamu dan mana yang engga!" Aku pergi meninggalkannya sendirian
diluar rumah. Menutup pintu rapat-rapat dan menahan jeritan tangisku dalam
diam.
"Tapi kamu ga pernah bilang. Aku
ga pernah tahu perasaan kamu ke aku!"
"Seharusnya, tanpa aku bilang kamu
udah tahu dari sikap aku kekamu! Aku mau kamu peka bukan drama yang kamu buat
berulang-ulang begini. Jangan ganggu hidup aku lagi! Aku capek sama semuanya!
Aku capek sama kamu!"
Dari dalam aku mendengar suara langkah
kaki yang berjalan pergi. Aku tak menyangka akan secepat ini. Aku selalu berfikir
bahwa perkenalan yang manis harus diakhiri dengan perpisahan yang manis pula.
Tapi hal itu tidak terjadi. Kini cerita kami tinggal kenangan yang selalu
membekas dalam ingatanku. Aku tak pernah menyalahkan cinta, tapi untuk saat ini
aku jatuh cinta pada orang yang salah. Ini semua bukan salah cinta.
No comments:
Post a Comment