Monday, 26 May 2014

Bukan Salah Cinta


"Sendirian? Putri sama Nur kemana?" lelaki itu duduk disampingku. Tangannya tepat menyentuh kulitku. Darah ku berdesir.
"Lagi kekantin bentar." Aku tak berani melihat wajahnya. Wajah yang sangat ku hapal rautnya dengan senyum yang selalu menjadi pasokan energi ku setiap hari.
"Kenapa sih suka duduk dibawah pohon beringin. Kan banyak setan."
"Banyak setan? Bodoh." Kali ini aku beranikan diri untuk melihat kearahnya. Wajah kebingungan yang sering dipasang nya adalah kesukaan ku. Alis mata yang sering kali dia naikkan sebelah karena bingung atau sekedar pamer padaku adalah hal yang sangat aku sukai. Walau tak mampu aku ungkapkan. "Aku duduk dibawah pohon beringin karena ketenangan yang aku dapat. Pohon beringin adalah tempat kesukaanku. Aku bisa melakukan apapun itu. Aku bisa menenangkan diri dari hiruk pikuk kota Bandung ini. Aku bisa melepaskan rasa penatku. Bukan karena setan atau apapun jenis makhluk ghoib yang kamu bayangkan." Aku memalingkan wajahku dari wajahnya, kembali membaca buku yang dari tadi telah aku lakukan.
"Sok pintar. Lagi pula makhluk ghoib itu memang ada. Dia berada disekitar kita." Ucap nya sambil menerawang sekitar. Tangannya diluruskan kedepan seperti orang yang sedang merasakan sesuatu. Bodoh pikirku, tapi aku menyukainya. Sangat menyukainya.
"Terserah." Aku tidak memperdulikannya. Walaupun dalam hatiku aku sangat ingin memeluknya dan tertawa bersamanya.
"Ayo." Dia memegang lengan kananku. Darah ku berdesir, kaki ku seperti membeku, dan aku tidak dapat bergerak. Aku melihat jelas telapak tangannya yang sedang menggenggam erat lenganku.
"Mau kemana?"
"Ke kantin. Nyusul Putri sama Nur."
"Terus kalau udah ketemu?"
"Yaudah ketemu." Aku melihat kearahnya. Memasang raut wajah aneh. "Kenapa ngeliat begitu?"
"Si dodol, ya capek lah. Dari sini kekantin. Terus ketemu Putri sama Nur. Udah ketemu, kesini lagi kan?"
"Iya juga sih. yaudah deh ga jadi." Dia melepaskan genggamannya dari lenganku. Aku tidak ingin itu terjadi. Namun, aku tidak mungkin meminta hal itu padanya.
Keheninganpun tercipta. Tidak ada yang membuka mulut. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Lelaki itu adalah dambaan ku. Senyumnya, cara dia melihatku, dan caranya memperhatikanku. Itu sangat sempurna. Aku membolak-balikkan halaman buku. Ini sangat aneh pikirku. Untuk membaca bukupun aku tidak bisa. Pandanganku hanya tertuju pada lelaki disebelahku ini. Aku sangat ingin merebahkan kepalaku diatas pundaknya, Tapi itu tak mungkin. Untuk memegang tangannya saja aku ragu. Aku terlalu malu atau gengsi. Entahlah, beda tipis. Posisi duduk kami yang hanya berjarak satu jengkal tangan ini semakin membuatku takut, Takut untuk kehilangannya.

***

Hari ini aku tak ingin banyak bicara. Aku hanya ingin diam. Entah apa yang aku pikirkan, tapi untuk hari ini aku tak ingin  ada satu orang pun yang mengganggu ku. Termasuk lelaki itu, Jerry. Aku tak ingin menyimpan perasaan ini lagi, aku ingin dia pergi dari hidupku, aku tak ingin mencintainya lagi.
Disebuah taman disekolah, tempat ku selalu melepas penat, dibawah pohon beringin. Aku kembali beristirahat disana, menyandarkan tubuhku yang telah sangat lelah menopang masalah yang tak bisa kuhindarkan. Keluarga, sekolah, teman, ataupun cinta. Bagiku semuanya terasa sangat pelik.
"Nia... Nia...." Seorang pria berteriak kearahku. Melambai-lambaikan tangannya. Aku memfokuskan pandanganku, mencari siapa sosok itu. Dan ternyata itu Jerry. Aku sangat ragu apakah aku harus menjawab panggilannya atau aku harus berpura-pura tak mendengarnya. Dan pada kenyataannya aku lebih memilih untuk mengacuhkannya. Aku memalingkan wajahku dari sosok Jerry. Aku tidak ingin berbicara dengannya, aku tidak ingin melihatnya.
Jerry berjalan kearahku. Nafasnya sedikit tersengal. Dia membawa sebuah buku. Aku terpaksa melihatnya, Mencari-cari apakah buku yang dibawanya itu. Dengan tatapan tak perduli aku bertanya "Ngapain kesini?" ucapku sinis.
"Aku membawakan mu buku. Kamu pasti suka. Buku Novel fantasi, kesukaan kamu kan?" rautnya wajahnya sangat gembira seperti panglima yang membawakan hadiah istimewa untuk sang putri raja.
"Ohh..."
"udah gitu aja? kamu ga mau bukunya?" nada suaranya sangat sedih. Wajahnya memelas. Aku tak sanggup melihatnya seperti ini. Tapi aku harus kuat.
"Aku ga mau. Kasi aja buat Melisa. Dia pacar kamu kan." Aku berdiri dan kemudian meninggalkannya sendirian. Aku tak mampu melihat kebelakang, ke arahnya. Yang aku ingat dia masih berdiri disitu, ditempat yang sama sambil memperhatikanku.
Aku tak mampu menahan air mata yang keluar dari pelupuk mataku. Aku tak mampu menahan rasa sakit ini. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku berjalan tergopoh sambil menghapus kedua air mataku, aku tak ingin dilihat oleh siapapun. Aku tak ingin dilihat oleh Jerry.
Aku terlalu lelah untuk jatuh cinta sendirian. Aku tak mampu hidup dalam bayang-bayang kepedihan. Aku ingin dia pergi. Aku ingin dia menghilang dari kehidupanku. Aku tidak butuh pria yang hanya mengajakku terbang lalu menghempaskanku ke bumi sendirian. Aku tidak butuh.
Masih berjalan dikoridor dengan hujan diseluruh pelupuk mataku. Dengan isak tangis didalam kepedihan hatiku. Aku masih tak percaya Jerry bersama wanita itu. Aku tak menyangka Jerry tak mengejarku. Aku tak percaya rasa ini hanya aku yang merasakannya.
Aku ingin pergi kesuatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang bisa menggangguku. Aku ingin meluapkan kesedihanku yang sudah mendarah daging dalam batinku. Aku ingin pulang, pikirku. Aku berjalan menyusuri koridor sekolah berharap tidak akan ada yang  melihatku. Tapi itu sungguh harapan kosong, tentu saja orang-orang akan melihat. Aku segera menuju kelas dengan isak tangis yang mengiringi langkahku. Aku melihat beberapa tatapan aneh menusuk kemataku. Aku mendengar bisikan mereka yang sedang mencari tahu apa yang terjadi.
Aku segera menuju kelas, mengambil tas juga buku-buku bacaanku, lalu pulang. Namun, hal itu tak semudah yang aku pikirkan. Sahabat ku Putri dan Nur menghalangiku. Dan menghujamiku dengan ribuan pertanyaan dibenak mereka.
"Nia kamu kenapa?" Ucap Putri sambil menatapku.
"Siapa lagi? Jangan bilang itu Jerry." Nur memegang tanganku. Tapi aku hanya diam, menutup rapat-rapat mulutku. Aku tahu mereka sangat ingin jika aku menjawab pertanyaan mereka. Tapi aku hanya berlalu meninggalkan kelas dan menuju rumah.
***
Dirumah aku sudah tak mampu untuk membungkus teriakkan kepedihan dalam hatiku. Aku meluapkan semuanya dengan diriku sendiri. Hujan di pelupuk mataku yang tidak berhenti sejak tadi semakin deras. Bunyi ponsel pun takku hiraukan sedikitpun. Aku sudah terlalu lelah dengan cerita cintaku yang diakhiri dengan kepedihan.
Sudah menjelang pukul tujuh malam, tapi aku masih mengurung diri didalam kamar. Tak ada sedikitpun rasa kantuk atau lapar yang menyerang diriku. Mataku sangat sembab. Namun ada sesuatu yang sangat mengganggu batinku, itu adalah suara ketukan pintu dari depan rumah. Ketukan pintu itu diiringi dengan suara yang menyebutkan namaku. Semakin lama semakin jelas bahwa suara itu adalah suara Jerry. Aku berjalan agak lambat keluar kamar, menyusuri anak tangga satu per-satu, tak ada hal buruk yang kubayangkan.
"Mau  apa?" ucap ku agak keras kepadanya.
"Mau minta maaf. Soal tadi siang. Aku tahu kamu marah." dia memberikan setangkai Nur mawar yang telah dipegangnya sejak tadi padaku.
"Gak perlu. Maafnya kamu gak akan bisa buat aku baik-baik aja." Jerry terdiam. Menundukkan kepalanya. Mataku tidak mampu membendung air mata yang  baru saja usai ini. "Seharusnya kamu lebih tahu orang yang benar-benar cinta sama kamu dan mana yang engga!" Aku pergi meninggalkannya sendirian diluar rumah. Menutup pintu rapat-rapat dan menahan jeritan tangisku dalam diam.
"Tapi kamu ga pernah bilang. Aku ga pernah tahu perasaan kamu ke aku!"
"Seharusnya, tanpa aku bilang kamu udah tahu dari sikap aku kekamu! Aku mau kamu peka bukan drama yang kamu buat berulang-ulang begini. Jangan ganggu hidup aku lagi! Aku capek sama semuanya! Aku capek sama kamu!"
Dari dalam aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan pergi. Aku tak menyangka akan secepat ini. Aku selalu berfikir bahwa perkenalan yang manis harus diakhiri dengan perpisahan yang manis pula. Tapi hal itu tidak terjadi. Kini cerita kami tinggal kenangan yang selalu membekas dalam ingatanku. Aku tak pernah menyalahkan cinta, tapi untuk saat ini aku jatuh cinta pada orang yang salah. Ini semua bukan salah cinta.

No comments:

Post a Comment